Seketika
aku terjaga dan memandang sekelilingku ku lihat gunung berapi memuntahkan nyala
api. Seperti bunyi desing peluru dan dantum bom yang telah memunaskan bumi
kami. Aku pun seakan binasa sebab seseorang yang katanya kaum gerilyawan tak
pernah lupa menaksir-naksir bagian tubuhku yang tertutup. Ya, seperti seekor gagak yang sedang
menaksir-naksir calon bangkai.
Namaku
Zahra.
Hanya
seorang gadis kumuh yang saat ini sedang mengandung benih haram penjajah yang
kelak bila lahir akan langsung menjadi musuh. Ini negeri tragedi. Tempat aku
menangis saat lahir. Aku banyak bersedih dan menangis disini. Ingin menjadi
rakyat di negeri kami? Tidak sulit. Cukup punya kesedihan dan air mata. Mungkin
negeri kami tak akan kokoh tanpa kekejaman. Kebengisan dan air mata. Aku tak
ingin menyumpahi mereka agar terkena serpihan ledakan. Aku tak ingin
kebencianku berkecamuk dan berkembang subur seperti tanaman yang tumbuh hijau
beberapa bulan yang lalu di negeriku. Ini negeri tragedi. Tempat aku menangis
saat lahir dan ingin ditangisi ketika mati.
Namaku
Zahra.
Hanya
seorang calon ibu.
Zaman menderas,
kehidupan membias, nurani menghilang. Pada akhirnya janin yang berada diperutku
akan melihat begitu sadisnya dunia. Aku yakin dia terlahir untuk memerangi
Ayahnya. ya, memerangi Ayahnya sendiri. Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, tahun berganti tahun. Pada akhirnya dia tumbuh dewasa di balik jeruji
besi.
“Nak, kau harus
mengikuti agama Ayah bukan Ibumu. Bermainlah sepuasmu. Keluarlah dari belenggu
jeruji ini. Dengan syarat. Hanya satu. Jangan kau ikuti agama Ibumu. Dengarkan
itu, kalimat yang ku dengar dari lelaki bejat untuk anakku yang baru berusia 10 tahun”.
***
Allahu Akbar …
Terdengar suara takbir
dari imam masjid bertanda akan masuknya waktu shalat. Mempercepat langkah kaki
adalah hal yang di lakukan agar sampai tepat pada waktunya.
Ambulans, jeritan,
tangisan secara bergantian memenuhi gendang telinga setiap insan yang berada
disana.
Tubuhnya bergidik, air
matanya mengucur deras melihat tubuh-tubuh yang terbaring kaku dari balik
pintu.
Memasuki
seperempat abad.
Allahu Akbar …
Terdengar suara takbir
dari imam masjid bertanda akan masuknya waktu shalat. Mempercepat langkah kaki
adalah hal yang di lakukan agar sampai tepat pada waktunya.
Ambulans, jeritan,
tangisan secara bergantian memenuhi gendang telinga setiap insan yang berada
disana.
Tubuhnya bergidik, air
matanya mengucur deras melihat tubuh-tubuh yang terbaring kaku dari balik
pintu.
Tidak
ada yang berbeda. Mayat-mayat bergelimpangan. Shalat jenazah telah menjadi hal
yang wajib.
Hingga
pada akhirnya memasuki waktu ramadhan tepatnya pada hari jum’at, 17 Ramadhan
1437 H, waktu itu perempuan-perempuan mukmin diseret sesadisnya, direnggut
kehormatannya di kala mengandung buah hati mereka, bocah-bocah tak berdosa dimasukkan
ke dalam kantong sembelihan binatang.
Nyeri
itu turut mengendap di setiap persendian, terbujur kaku, mati rasa. namun,
berada di ambang ketaksadaran justru menguatkan untuk tetap bertahan meski
kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan, mungkin ini di namakan fase
kematian.
***
Allahu
Akbar …
Allahu
Akbar …
Asyhaduallailahaillalah
…
Asyhaduallailahailalah
…
Desing
peluru dan dentum bom tak henti-hentinya memborbardir rumah yang berada di
sekitarnya.
Keringat
mengucur deras di tengah hujan batu yang tiada hentinya. Terlintas kejadian
dalam benaknya waktu itu dia menyaksikan seorang bapak mengucapkan kata yang
sama seperti yang terdengar tadi, yaitu :
Asyhaduallahilahaillalah
…
Dengan
mata berkaca-kaca dan darah yang mengalir dari tangan kanannya dia ingin
mengucapkan kata itu, sebenarnya telah berkali-kali dia mendengarnya tapi
berbeda dengan hari ini hatinya bergetar semakin bergetar mendengar kata itu.
“Asyh
… Asyh …hadu … Asyahadu …“ lidahnya kelu.
Asyhaduannamuhammadarrosulullah
…
Asyhaduannamuhammadarrosulullah
…
Tangisan
bayi, jeritan perempuan-perempuan tak berdosa, teriakan-teriakan bocah-bocah
yang sedang mencari ibunya. Pemandangan miris.
Hayya
alasholah ...
Hayya
alasholah …
Dia
tiba-tiba teringat dengan sosok Ibu yang ingin mengajarinya sholat pada saat dia telah berusia 7 tahun akan tetapi Ibu tidak bisa
melawan kehendaknya sebab jika dilanggar maka, mata-mata Ayah kandungnya siap
menghancurkan ibu, anak, beserta orang-orang di sekitarnya.
Hayyaalalfalah
…
Hayyaalalfalah
…
Assolatukhoirumminannaum
…
Asslatukhoirumminannaum
…
Darah
berceceran, tangisan semakin membludak, manusia-manusia berlarian mencari Suami,
Anak, Ayah, Ibu mereka.
Allahu
Akbar …, Allahu Akbar …
Lailahaillalah
…
Seakan
ruhnya tiba-tiba menari-nari gemulai menyeringai lebar dengan lidah api yang
terjulur dari mulutnya. Dia akan di lahirkan kembali nun jauh disana sementara
jasad yang selama ini di topangnya tempat meletakkan tubuh ini berkhianat
kesana kemari pada tubuh yang juga pengkhianat.
Melihat
hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun kejadian
yang memilukan, memiriskan, dan menyakitkan ini terbesit keinginan untuk
kembali pada-Nya dan saat itu juga dia ingin menemui Imam untuk mendeklamasikan
keislamannya.
***
Selesai
sholat terlihat Imam masjid mencari puing-puing yang tersisa dari serangan
brudal tersebut kemudian ditemukan Alqur’an yang masih utuh dengan keadaan
terbuka, suatu kebetulan salah satu ayat dalam keadaan terbuka itu berbunyi:
Kemenangan
sudah dekat bagi mereka yang tetap teguh
Mengetahui
hal itu Sang Imam meyakini hal itu bukan suatu kebetulan. Kejadian ini adalah
kuasa Allah. Ini adalah Rumah Allah apapun bisa terjadi atas kehendak-Nya.
Kejadian
demi kejadian telah membuka matanya, apalagi setelah melihat Imam masjid
menemukan Alqur’an dengan keadaan terbuka dan menemukan ayat yang berbunyi “
kemenangan sudah dekat bagi mereka yang tetap teguh” dia telah yakin akan agama
ini, agama islam, agama
rahmatanlilalamin. Apalagi beberapa hari yang lalu dia melihat dengan mata
kepala sendiri segerombolan pasukan yahudi berlari terbirit-birit tanpa adanya
serangan dari siapapun. Konon terdengar kabar, mereka berlari karena melihat
segerombolan berbaju putih menyerang mereka. Dia yakin segerombolan yang
berbaju putih itu adalah malaikat.
Dengan
keimanan yang memuncak dan kondisi fisik yang kian melemah, dari jarak beberapa
meter diapun menemui Imam yang tengah mengusap air matanya.
“Assalamu
‘alaikum Pak … , saya ingin memeluk islam bisakah Bapak membimbing saya?”
“Ya
…, wa’alaikum mussalam, alhamdulillah …,
dengan senang hati, nak”
“Namamu
siapa?” tanyanya
“Nama
saya Gilbert, pak”
“Kamu
yakin ingin memeluk islam?”
“Yakin,
Pak …”
“Nak,
lukamu harus disembuhkan dulu, darahnya terus mengalir”
“Tidak
usah Pak, tidak apa-apa. saya takut nyawa saya dicabut dalam keadaan belum
memeluk islam”.
“Baik
kalau begitu ikuti perkataan saya”
“Asyhaduallailahaillalah
…”
“Asyh
… Asyh ... hadu … allailahaillalah …”
“Wa
asyhaduannamuhammadarrosulullah …”
“Waashy..
hadu ... hadu ... annamuhamm …adarosulullah
…”
Dor
… dor … dor …
Darah
mengucur deras, suasana masjid menjadi kacau, teriakan kembali terdengar dan
memekakkan telinga. Dia telah kembali, kembali ke pangkuan-Nya ditangan Ayah
kandungnya yang seorang yahudi.