Psikoanalisis Sigmund
Freud
Psikoanalisis adalah suatu kajian dalam cakupan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis, hal ini sejalan dengan pendapat Freud (1986:73-74) dalam mengembangkan teori psikoanalisisnya berangkat dari perbincangan antara pasien dan analis. Analis dalam memeriksa pasien tidak menggunakan alat-alat pemeriksaan dan tidak menggunakan resep, analis menetapkan waktu tertentu bagi pasiennya, mendengarkan pasien berbicara, lalu mengatakan sesuatu kepadanya dan membiarkan pasien mendengarkan. Pada wajah pasien dengan jelas terlihat tanda kelegaan dan ketenangan. Seakan-akan pasien berpikir: hanya itu saja. “words, words, words”. Demikian pula halnya sastra, semua mediasi yang terdapat dalam persoalan kesusastraan adalah bahasa yaitu bahasa tulis, hal ini senada dengan teori Freud (dalam Ratna, 2012:345-346) dalam menghadapi seorang pasien, untuk mengobati penyakitnya, seorang dokter tidak melakukannya dengan cara menguraikan asal-usul penyakitnya, melainkan dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga terungkap seluruh depresi mentalnya yaitu melalui pernyataan-pernyataan. Bahasa inilah yang dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sastra. Teori freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis pada bahasa dalam karya sastra, oleh karena itu, keberhasilan penelitian bergantung pada kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang melalui penerapan hukum-hukum psikologi yaitu penerapan psikoanalisis sigmund freud pada karya sastra.
Salah satu penemuan besar
Psikoanalisis adalah adanya kehidupan tak sadar manusia. Selama ini diyakini
para ilmuwan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang sepenuhnya sadar akan
segala perilakunya. Ketaksadaran ini adalah segi pengalaman yang tak pernah
kita sadari. (karena terjadi pada tahap perkembangan dimana kita belum
berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat
perhatian kita) atau kita repres (secara tidak sadar tidak ingin kita sadari karena
kita anggap “menganggu” diri kita). Bagi freud ketaksadaran merupakan salah
satu inti pokok atau tiang pasak pokok teorinya. Segi-segi penting manusia
justru di tentukan oleh alam tak sadarnya. Ia membayangkan ketaksadaran manusia
sebagai gunung es dimana hanya sebagian kecil saja yaitu puncak tearatasnya
yang tampak terapung di laut. Sebagian besar badan gunung es tersebut terpendam
di bawah permukaan laut. Bagian yang tersendam ini dapat di bagi menjadi dua,
yaitu bagian pra sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke kesadaran dan
bagian tak sadar yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tak di sengaja,
fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongeng, dan sebagainya.( Freud dalam Moesono
2003:3).
Freud menyusun teori
perkembangan kepribadian dengan dua asumsi dasar yaitu sejalan dengan dasar
pandangannya yang biologistis maka ia pun berpendapat bahwa pada saat lahir
sorang bayi manusia telah memiliki sejumlah energi seksual (libido) tertentu
yang kemudian akan terus dikembangkan melalui sejumlah tahapan psikoseksual
secara naluriah karena telah ‘terprogram’ secara genetis. Pada tiap tahap
perkembangan libido harus tersalurkan lewat daerah erogen tertentu. Pengalaman
masing-masing manusia pada tiap tahap perkembangan dapat berupa frustasi
(kurang mendapat kesempatan penyaluran libido secara wajar) atau pemuasan
berlebih yang diberikan orangtua sehingga anak tidak terdorong untuk menguasai
dirinya sendiri hal mana nantinya akan dapat menimbulkan kateksis berlebih
(atau investasi libido berlebih) pada daerah erogen bersangkutan dan akan
muncul dalam berbagai bentuk perilaku (sifat, nilai, sikap, dan sebagainya)
pada masa dewasa. Asumsi mendasar kedua adalah bahwa semua pengalaman masa bayi
dan anak-anak (sampai sekitar usia 5 tahun) memiliki peranan yang amat
menentukan dalam pembentukan kepribadian manusia. Dalam salah satu tulisannya
Freud bahkan mengatakan bahwa seluruh hidup manusia sekadar pengulangan dari
pengalaman 5 tahun pertama kehidupannya. (Freud dalam Moesono, 2003:7).
Kelebihan
teori Psikoanalisis Sigmund Freud yaitu Psikoanalisis Sigmund Freud secara sistematis
menjelaskan struktur jiwa manusia
yaitu penjelasan mengenai id, ego,
dan superego beserta teori
kepribadian yang lain. hal ini memiliki relevansi dengan
kesusastraan ketika karya sastra dianggap sebagai struktur yang bermakna dari
hasil kreativitas dan ekspresi
(struktur
jiwa) manusia (sastrawan) karena baik
sastra maupun psikoanalisis
sama-sama dalam kajian keadaan jiwa
manusia, baik melalui bahasa lisan maupun bahasa tulis sedangkan pada teori
psikologi lain contohnya teori yang
dicetuskan oleh Carl Gustav Jung, Jung tidak intensif menerapkan teori-teorinya
pada kesusastraan tetapi Jung terkenal dengan pengetahuannya tentang simbolisme
dalam tradisi mistik, seperti Alkemi, Kabala, dan tradisi-tradisi serupa
seperti dalam agama Hindu dan Budha (Zaviera, 2007:28).
Pada pendekatan
Psikoanalisis Sigmund Freud terdapat beberapa konsep di dalamnya yaitu teori
kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud, Struktur kepribadian, dinamika
kepribadian, mekanisme pertahanan ego,
klasifikasi emosi, dan teori seksualitas. Peneliti dalam penelitian ini hanya
akan menganalisis pada bagian mekanisme pertahanan ego akan tetapi pada teori terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai id, ego, dan superego. Teori struktur kepribadian dicantumkan oleh peneliti
karena jika keinginan-keinginan yang saling bertentangan dari struktur
kepribadian terjadi maka akan menghasilkan kecemasan. Misalnya ketika ego menahan
keinginan mencapai kenikmatan dari id, kecemasan dari dalam
terasa. Hal ini menyebar dan mengakibatkan kondisi tidak nyaman ketika ego
merasakan bahwa id dapat
menyebabkan gangguan terhadap individu. Kecemasan mewaspadai ego untuk mengatasi konflik tersebut melalui
mekanisme pertahanan ego. Struktur kepribadian meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id,ego, dan superego.
a. Struktur
Kepribadian menurut sigmund freud
Secara struktural manusia memiliki sistem id, ego, dan superego, id terletak di
bagian tak sadar. Ego terletak di
alam sadar, prasadar, dan tak sadar yang bertugas sebagai penengah yang
mendamaikan tuntutan id dan larangan superego. Superego terletak sebagian di
bagian sadar dan sebagian lagi di bagian tak sadar yang bertugas mengawasi dan
menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil
pendidikan dan identifikasi orangtua (Minderop, 2010:20).
Ketiga struktur kepribadian tersebut yaitu:
1)
Id
Id merupakan energi psikis
dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan. Menurut Freud, id berada di alam tak sadar, tidak ada kontak
dengan realitas. Cara kerja id berhubungan
dengan prinsip kesenangan,
yakni selalu mencari
kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010:21). Sejalan dengan pendapat Zaviera (2007:93) juga
mengemukakan id bekerja dengan
prinsip-psinsip kenikmatan sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan.
Pendapat lain mengatakan bahwa id berisikan
segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir,
termasuk insting-insting. Id merupakan
tempat penyimpanan dari energi psikis. Freud juga menyebutnya sebagai
“kenyataan psikis yang sebenarnya” karena
id mempresentasikan dunia batin dari pengalaman subjektif dan tidak
mengenal kenyataan objektif (Semiun, 2006:61).
Ciri-ciri
dari id adalah tidak memiliki
moralitas karena tidak dapat membedakan antara baik dan jahat maka id adalah amoral, primitif. Seluruh
energinya hanya digunakan untuk satu tujuan mencari kenikmatan tanpa
menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak. Sebagai daerah yang menyimpan
insting-insting (motivator-motivator primer), id beroperasi menurut proses primer (Semiun, 2006:63).
Menurut
Freud (dalam Moesono 2003:31) id adalah
bentuk netral yang mengacu pada pengertian tentang adanya yang impersonal dan
yang tidak dikuasai dalam struktur psikis manusia. Id merupakan sumber energi, persediaan pulsi pertama, suatu
kekacauan yang bergerak dan tidak stabil yang tidak dapat diberi definisi
ilmiah terlalu ketat. Inilah bentuk psikis yang asli dan kekanak-kanakan,
tempat pulsi bawaan dari lahir dan hasrat yang direpresi.
2)
EgO
Freud (dalam Minderop,
2010:21) berpendapat bahwa ego
terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh
pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi
oleh realitas. Misalnya
seseorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri akan tertahan dan
terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi.
Menurut
Freud ( dalam Moesono, 2003:31) ego
adalah instansi yang mempertahankan dan melindungi pribadi. Ego ini kaya dengan energi intern
(pulsi-pulsi id), tetapi juga
memperhatikan realitas luar. Ego harus
menekan, menyesuaikan, dan sedikit banyak melaksanakan hubungan antara id dengan dunia luar. Aktivitas ego terdapat pada ketiga lapisan “yang
sadar”, yang pra sadar, dan “yang tak sadar”. Pada lapisan “yang sadar”, Ego mengawasi kesesuaian antara subjek dan lingkungan. Pada lapisan
“yang tak sadar” dalam pertahanan diri dan proteksi sehingga hubungannya dengan id berlangsung secara terus-menerus dan dalam keadaan konflik. Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip
realitas, seperti tampak dalam pembentukan objektif, yang sesuai dengan
tuntutan sosial yang rasional, tugas ego
adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan
alam sekitar. Ego juga mengontrol apa
yang mau masuk dalam kesadaran dan apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ego menjamin kesatuan kepribadian.
Menurut
Frued (dalam Semiun, 2006: 64-65) Ego
dikatakan mengikuti prinsip kenyataan (reallity
principle) dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan
adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok
untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara waktu, prinsip kenyataan menunda
prinsip kenikmatan, meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika objek
yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian tegangan direduksikan. Prinsip
kenyataan menanyakan apakah pengalaman benar atau salah yakni apakah pengalaman
itu ada dalam kenyataan dunia luar atau tidak sedangkan prinsip kenikmatan
hanya tertarik pada apakah pengalaman itu menyakitkan atau menyenangkan. Freud
juga berpendapat bahwa ego
terdiferensiasi dari id ketika bayi belajar membedakan dirinya dari dunia luar. Meskipun
id tetap tidak berubah, namun ego terus menerus berubah. Meskipun id tetap mengikuti tuntunan tuntunan
tidak realistik dan tidak mengalah dalam mencari kenikmatan, namun ego harus realistik. Id menyiapkan energi bagi seseorang,
sedangkan ego harus melakukan
kontrol.
3)
Super Ego
Komponen struktural ketiga
kepribadian adalah superego dan dalam
pandangan Freud superego adalah
bagian moral atau etis dari kepribadian. Superego
mulai berkembang pada waktu ego
menginternalisasikan norma-norma sosial dan moral. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita
tradisioanal masyarakat. Superego
dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistik dan idealistik yang bertentangan
dengan prinsip kenikmatan dari id dan prinsip kenyataan dari ego. Superego mencerminkan yang ideal dan
bukan yang real, memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatiannya
yang utama adalah memutuskan sesuatu itu benar atau salah, dengan demikian superego dapat bertindak sesuai dengan
norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat (Semiun,2006:66)
sedangkan menurut Freud (dalam Minderop,2010:22) berpendapat bahwa Superego adalah struktur
kepribadian yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego
sama halnya denganhati nurani
yang
mengenali nilai baik buruk (conscience).
sedangkan menurut Freud (dalam Susanto, 2012:62) superego dapat diartikan sebagai
representasi dari berbagai nilai dan hukum-hukum suatu masyarakat dimana
individu tersebut berada
pada saat itu. Superego di peroleh seseorang
ketika waktu masa kecil melalui proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan
larangan ataupun hukuman. Superego ini menjadi satu
landasan seseorang dalam melakukan pengendalian diri. Menurut Freud (1991:30) superego merupakan dasar hati nurani. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik
dengan ego yang dirasakan dalam
bentuk emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya
sedangkan menurut Freud dalam Moesono (2003:31) superego dibentuk melalui
jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari
luar (misalnya orang tua). Hal ini di olah sedemikian rupa sehingga akhirnya
terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya dianggap “asing”
bagi subjek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek sendiri. Superego
merupakan dasar moral seseorang.
Freud berpendapat bahwa
kecemasan merupakan akibat dari konflik antara id dan ego. Konflik
antara id dan ego tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan
antara dua keinginan. misalnya, perasaan tidak senang seorang anak kepada orang
tuanya yang bertentangan dengan keharusan anak mencintai orang tuanya. Mengakui
perasaan akan mengakibatkan kecemasan bagi anak karena akan menghancurkan
konsep diri sebagai anak baik dan mengancam posisinya karena akan kehilangan
kasih sayang dan dukungan orang tuanya, kecemasan akan timbul sebagai tanda
bahaya. Oleh karena itu, dia harus melakukan manuver melalui mekanisme
pertahanan ego (Minderop, 2010:28). Pada tahun 1926 freud mencetuskan mekanisme
pertahanan ego (Freud dalam Semiun, 2006:96).
b.
Mekanisme
Pertahanan
Ego
Mekanisme
Pertahanan ego merupakan reaksi-reaksi yang tidak disadari yang dilakukan oleh ego yang terdapat dalam diri individu dalam
upaya melindungidari emosi atau perasaan yang menyakitkan, seperti cemas dan
perasaan bersalah. Ego berusaha menjaga kestabilan hubungan dengan id, dan superego. Namun ketika kecemasan begitu menguasai, ego harus berusaha mempertahankan diri.
Secara tidak sadar, ego akan bertahan
dengan cara memblokir seluruh dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan
tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima. Aktivitas ego bersifat sadar, prasadar, maupun tak
sadar. aktivitas sadar ego yaitu
proses-proses intelektual contoh: seorang pimpinan perusahaan yang mampu
mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan, aktivitas pradasar
contoh: fungsi ingatan, dan aktivitas tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Ego sepenuhnya dikuasai oleh prinsip
realitas.(Freud, 1991: 30).
Beberapa mekanisme pertahanan ego yaitu:
1) Represi
Represi adalah proses penekanan dorongan ke alam tak sadar karena
mengancam keamanan ego dapat
diartikan juga sebagai “penguburan” pikiran dan perasaan yang mencemaskan ke
alam tak sadar. Tugas Represi adalah mendorong keluar
impuls-impuls id yang tak diterima,
dari alam sadar kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme
pertahanan ego. Tujuan dari semua
mekanisme pertahanan ego yaitu
menekan (repress) atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar keluar dari
alam sadar. Represi sebagai upaya menghindari
perasaan anxitas dan sebagai akibat represi, individu tidak
menyadari impuls
yang menyebabkan anxitas serta tidak
mengingat pengalaman emosional dan traumatik di masa lalu Freud (dalam Minderop,
2010:33). Analisis Freudian menjelaskan fobia ini dengan sangat
sederhana. Seorang merepresi peristiwa traumatik tapi pengalaman melihat suatu
objek yang menakutkan bisa menimbulkan perasaan takut dan cemas berkepanjangan
tanpa mampu mengingat peristiwanya dengan jelas (Zaviera, 2007:99). Cara kerja represi
yaitu apabila impuls-impuls dari id begitu mengancam maka kecemasan akan
menjadi semakin hebat sampai kepada titik dimana ego tida dapat lagi menahannya. Untuk melindungi dirinya sendiri ego merepresikan insting itu, yakni
memaksa perasaan yang tidak dikehendaki itu untuk masuk ke dalam ketaksadaran
(Freud dalam Semiun, 2006:97).
2) Sublimasi
Sublimasi adalah pembelokan libido seksual kepada kegiatan yang
secara sosial lebih dapat diterima. Sublimasi sesungguhnya
suatu bentuk pengalihan Freud
(dalam Minderop, 2010:34) contoh:
dorongan agresif senang berkelahi dapat dibelokkan menjadi seorang petinju dan
seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan
perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara
sosial dengan menjadi seorang pelukis tubuh model tanpa busana. Pendapat lain
mengatakan sublimasi adalah proses mengubah berbagai rangsangan yang tidak
diterima, apakah itu dalam bentuk kemarahan, ketakutan, atau bentuk lainnya ke
dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial (Zaviera, 2007:108)
sedangkan menurut Freud ( dalam Milner, 1992:143) menyatakan bahwa sublimasi
adalah pemindahan pulsi seksual ke tujuan baru yang non seksual dimana pulsi
tersebut mengincar objek-objek yang mempunyai nilai sosial.
3) Proyeksi
Proyeksi terjadi apabila individu melimpahkan
kesalahannya kepada orang lain, individu kerap menghadapi situasi atau hal-hal
yang tidak diingankan dan tidak dapat diterima dengan melimpahkannya dengan
alasan lain, misalnya seseorang harus
bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, dan orang tersebut
menyadari bahwa sikap ini tidak pantas dilakukan, namun sikap yang dilakukan
tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini
dilakukan agar tampak lebih baik (Hilgard dalam Minderop, 2010:34) pendapat
lain mengatakan bahwa proyeksi yaitu apabila dorongan insting internal
menimbulkan terlalu banyak kecemasan, ego
mungkin mereduksikan kecemasan dengan menghubungkan dorongan yang tidak bisa
dikendalikan itu dengan objek luar, biasanya orang lain. Proyeksi juga
didefinisikan sebagai melihat pada orang lain perasaan atau tendensi yang tidak
dapat diterima dan yang sesungguhnya berada dalam ketaksadaran orang itu
sendiri (Semiun, 2006:100).
4) Pengalihan
Pengalihan adalah perasaan tidak senang
terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Contoh: adanya
impuls-impuls agresif yang dapat digantikan sebagai kambing hitam terhadap orang
atau objek lainnya dimana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi
namun lebih aman dijadikan sasaran (Minderop, 2010:34).
5)
Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan penciptaan kepalsuan
(alasan-alasan) namun dapat masuk akal sebagai upaya pembenaran tingkah laku
yang tidak dapat diterima. Contoh-contoh
rasionalisasi: Pertama, rasa suka atau tidak suka sebagai
alasan, contoh: seorang gadis yang tidak diundang ke sebuah
pesta, berkata bahwa ia tidak akan pergi walaupun diundang karena terdapat
beberapa orang yang tidak disukainya hadir di pesta tersebut. Kedua, menyalahkan
orang lain atau lingkungan sebagai alasan,
contoh: seseorang yang terlambat karena tertidur akan menyalahkan orang lain
yang tidak membangunkannya atau mengatakan kelelahan karena terlalu sibuk
sehingga terlelap seharusnya ia dapat bangun dengan memasang jam waker
sebelumnya. Ketiga, Kepentingan
sebagai alasan contoh: seseorang membeli mobil model terbaru dengan
alasan mobil yang lama membutuhkan lebih banyak reparasi (Hilgard
dalam Minderop, 2010:35). Contoh pada
novel yaitu alasan tokoh utama yaitu tokoh aku mengangkat shinta menjadi anak,
seperti pada kutipan “Aku telah menjadikannya maskot!”. “apalagi?” Tawanan yang
dapat menghiburku!” apa lagi?”“ tabungan hutang budi!” (Wijaya, 1977:107).
6) Reaksi
formasi
Reaksi formasi
merupakan represi akibat impuls anxitas
yang diikuti oleh kecenderungan yang bertolakbelakang dengan tendensi yang
ditekan, contoh: seorang ibu membenci
anaknya, tetapi karena kebencian terhadap anak merupakan suatu sikap yang
membuat ia mengalami kecemasan, maka ia kemudian menunjukkan sikap sebaliknya,
yakni menyayangi anaknya secara berlebihan (Minderop, 2010:36-37).
7) Regresi
Terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, regresi yang disebut retrogessive behavior yaitu perilaku
seseorang yang mirip anak kecil, menangis, dan sangat manja agar memperoleh
rasa aman dan perhatian orang lain hal ini senada dengan pernyataan (Zaviera,
2007:107) Regresi adalah kembali ke masa-masa di mana seseorang mengalami
tekanan psikologis. Ketika menghadapi kesulitan atau ketakutan, perilaku sering
menjadi kekanak-kanakan atau primitif. Kedua,
regresi yang disebut primitivation
yaitu ketika orang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan
kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi (Minderop,
2010:37).
8) Agresi
Agresi
adalah perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat
menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan
pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung
kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa,
agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal dibandingkan fisikal korban yang tersinggung
biasanya akan merespon. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami
frustasi namun tidak dapat mengungkapkan kepada sumber frustasi tersebut karena
tidak jelas atau tak tersentuh
pelaku
tidak mengetahui kemana ia harus menyerang, sedangkan pelaku sangat marah dan
membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan (Minderop, 2010:38). Contoh pada novel terdapat pada kutipan “Dengar! Ini
bukan soal duit! Kamu boleh beli semua isi toko sarinah, tapi kamu tidak bisa
mengambil apa-apa dari tanganku. Kamu tidak bisa membayar apa yang sudah
kukeluarkan dari dagingku selama sepuluh tahun ini. Kamu pikir kamu bisa!
(Wijaya, 1977:105).
9)
Apatis
Apatis adalah
bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi
(terhambatnya keinginan), yaitu sikap apatis
dengan cara menarik diridan bersikap seakan-akan pasrah(Hilgard dalam Minderop,
2010:38).Contoh pada novel yaitu
tokoh utama yaitu tokoh aku bersikap pasrah karena kehidupannya yang sering
diliputi berbagai macam masalah.
10)
Fantasi
Fantasi adalah
kemampuan jiwa untuk membentuk
bayangan-bayangan
baru Freud
(dalam Walgito, 1985:142) sedangkan
menurut (Freud dalam Minderop, 2010:38) Ketika seseorang
menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadangkala mencari solusi dengan masuk ke dunia
khayal, solusi berdasarkan fantasi dibandingkan realitas.
Freud (1958:95) berpendapat
bahwa Lamunan adalah produk dari fantasi. Lamunan terjadi apabila seseorang
sedang membayangkan sesuatu. Lamunan adalah hasil fantasi, seseorang tidak
melihat tapi hanya membayangkan. Lamunan mampu membentuk materi dasar
karya-karya puitis. Penulis bisa mengubah lamunannya menjadi cerita, novel dan
drama. Contoh pada novel terdapat pada kutipan “Aku tidak percaya bahkan merasa
lebih pesimis lagi.Terbayang hal-hal yang menjijikkan. Celakanya itu hari
minggu. Aku tak bisa mengetok sembarangan pintu untuk berobat. Setiap dokter
juga punya hak untuk istirahat (Wijaya,1977:78).
11)
Stereotype
Stereotype adalah konsekuensi lain dari
frustasi, yaitu perilaku
stereotype memperlihatkan perilaku pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak
bermanfaat dan tampak aneh, contoh: seseorang yang berfantasi (Hilgard
dalam Minderop, 2010:38-39). Contoh
pada novel yaitu tokoh utama yaitu tokoh aku dimana egonya secara tidak
disadari melakukan khayalan atau fantasi secara terus-menerus.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad, Maidar G. 1999. Pengajaran
Sastra. Jakarta. Depdikbud.
Freud, Sigmund. 1958. A General introduction to psychoanalysis Psikoanalisis Sigmund Freud. Diterjemahkan oleh Ira
Puspitorini. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Freud, Sigmund. 1986. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. 1991. Memperkenalkan Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Juanda. 2004. Teori
Sastra. Makassar. FBS UNM.
Kurniasih, Eka Risna. 2011. Kritik Sosial Dalam Novel Senja di Jakarta Karya Muchtar Lubis. Skripsi. Makassar: FBS
UNM
Milner, 1992. Freud
dan Interpretasi Sastra. Jakarta:Intermasa.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra, Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Moesono, Anggadewi. 2003. Psikoanalisis Dan Sastra.Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Mulyaningsih, Eka. 2011. Skripsi. Telaah Psikoanalisis Pada Novel “Olenka” karya Budi
Darma Suatu Tinjauan Psikoanalisis Sigmund Freud.FBS UNM Makassar.
Nensilianti, 2006. Sastra Nusantara. Makassar
Nursisto, 2000. Ikhtisar
kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicira Karya Nusa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sabirah. 2012. Skripsi. Konflik Psikis Tokoh Pada Novel “Kupinjam Nafas Iblis” Karya Mira W. FBS UNM Makassar.
Semiun, Yustinus. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued.Yogyakarta: Penerbit Kansinus.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Tang,
Muhammad Rapi. 2008. “Mozaik Dasar Teori
Sastra Dalam PenampangObjektif. Makassar.
Badan Penerbit UNM.
Wellek , Rene dan Warren, Austin. 1988. Teori Kesusatraan. Di terjemahkan oleh :Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia.
Wijaya, Putu. 1977. Telegram. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya.
Walgito, Bimo.1985. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Yudiono, leni. 1989. Kesusastraan: sebuah pengantar Teori dan Sejarah. Bandung. Angkasa.
Zaviera, Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: Prismasophie.