Aku tidak ingin dia yang ku cinta memiliki karakter yang sama dengan ayahku, semnggu lagi kami akan memasuki kehidupan baru, kehidupanku akan berubah drastis. Hamil, melahirkan, menyusui akan menjadi rutinitas yang tak terelakkan.
“Aku ingin menikah
denganmu Zahra, aku ingin hidup dengan wanita sholehah, aku ingin anak-anakku
lahir dari rahim seorang ibu yang tidak hanya cantik tapi juga memiliki akhlak
yang tidak hanya sekadar teori semata”.
“Aku tahu aktivitasku
hanya mabuk-mabukkan, menganggu orang-orang di jalan dan menganggumu, tapi kau
harus tahu sebab aku seperti ini, kedua orangtuaku wafat pada kecelakaan
tunggal 40 hari yang lalu dan saat itu aku sangat terpukul”.
“Aku lebih memilih
keluar dari pesantren sebab ku pikir untuk apa aku kuliah setinggi langit kalau
Allah telah memanggil orang-orang yang ku sayangi?”
40 hari yang lalu
engkaupun hadir dengan senyum merekah memberikan semangat kepadaku,
“Yang tabah yah Dit,
dirimu pasti kuat”Ucapmu.
Aku tiba-tiba teringat
kisah ayah dan ibuku, mereka berada di pesantren yang sama dan ditakdirkan
bertemu kembali.
“Zah, aku melihat
ibuku, aku melihat ibuku pada sosok Dina rekan kerjaku, perhatian yang ia
berikan, kasih sayang yang saya rasakan darinya, senyumannya, boleh tidak ia
tinggal dengan kita?”
“Astaghfirullah ….
Sadar Dit, tidak ada yang bisa menggantikan ibu, apa kau ingin menduakanku dan
menikah lagi?”
“Alah …, jangan
ceramah, aku tahu apa yang seharusnya ku lakukan, aku ini suamimu dan aku lebih
tahu apa yang seharusnya ku lakukan”.
“Oke kalau ternyata itu
keputusanmu, tapi sebelum itu kau harus menandatangani surat perceraian kita”.
“Baik, kalau itu maumu,
aku lebih memilih sosok ibu berada di rumahku daripada sosok orang yang keras
kepala sepertimu”.
Aku tidak ingin pola
pikir ayahku sama seperti pola pikir calon suamiku, dan seharusnya karakter
seorang ibu tidak disamakan dengan wanita manapun di dunia ini.
Dear
Diary …