Aku
lebih memilihnya bukan tanpa alasan selain baik, ia juga bisa menjadi imam
untukku, pertemuan pertama itu berawal lewat sosial media.
Penasaran
dengan dirinya pada akhirnya akupun memberanikan diri membuka “Rumah” Facebooknya, postingan-postingan tentang
dakwah berjejer dengan rapi, mengenai ukhuwah, muamalah, pernikahan, dan lain
sebagainya.
Ternyata
dia juga berteman dengan sepupuku, jadi aku tidak khawatir lagi apakah memang
kepribadiannya sama dengan isi dari tiap postingannya. Dan Masya Allah ternyata
karakternya memang seperti itu.
“Kita
itu dari keluarga terhormat, kakak-kakakmu itu menikah dengan anggota prajurit
TNI, masa’ kamu yang lulusan universitas akan menikah dengan pria berjenggot yang hanya lulusan pesantren,
mau di beri makan apa kamu, ha?”
Kata-kata
ayah begitu menusukku, kata-kata ini begitu melekat sampai saat ini hingga buah
hatiku kini telah berusia 2 tahun, kata-kata Ayah masih terngiang dengan jelas
di telingaku.
Tiga
tahun silam, aku di perkenalkan dengan seorang yang katanya anggota TNI,
pilihan ayahku, ya seperti lelaki pada umumnya dia gagah, putih, tinggi, ia
sering mengajakku jalan. Aku tak bisa menolak sebab ini permintaan ayah.
Tiba-tiba
jiwaku seakan menasehatiku
“Dia
bukan lelaki baik Na, lihat saja pada saat kamu jalan dengannya, sempat-sempatnya
ia melirik perempuan lain”.
Kata
hati memang tak pernah salah, sehari setelah kejadian itu aku mendengar kabar
dari sepupuku katanya ia melihat cowokku berjalan dengan wanita lain, sebagai
perempuan normal hatiku begitu pedih mendengarnya.
Ku
bulatkan niatku untuk berkata pada ayah bahwa pilihanku jatuh pada pemuda itu,
meskipun perawakannya biasa saja tetapi hatiku telah terpaut padanya.
Maafkan
aku Ayah, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, aku lebih memilih imam yang
akan membimbingku menjadi wanita sholehah di dunia dan akhirat daripada memilih
lelaki yang tidak mementingkan akhiratnya.