Waktu terus menguap di
pukuli detak-detak jam dan jarumnya yang tajam juga tak henti mengukir wajahku
dengan pahatannya yang dalam, menghapus impian kita tentang sebuah halaman kecil
dengan anak-anak kecil yang bermain di dalamnya.
Aku bangun sebuah rumah
di batinku untukmu. Di situ, aku membayangkan kau tersenyum menyiram bunga di
halaman setiap harinya.
Dulu, cintamulah yang
membuat ketidakwarasanku, sepasang ginjal yang seharusnya ada di tubuhmu dengan
rela kau berikan salah satunya pada ibuku yang bahkan bagi sebagian mereka
adalah hal yang mustahil sebab kita belum sah secara agama beberapa tahun
silam.
Ketidakwarasanku yang
menunggumu, menunggumu tiba dengan kereta yang dulu membawamu pergi dengan
cinta.
Cinta pada negeri
katamu Saat itu aku tak bisa melepaskanmu. Dan kau tahu sayang beberapa menit
sebelum kepergianmu aku ingin menyampaikan bahwa telah ada malaikat kecil di
rahimku.
Dan keretapun berderek
menjauh. Aku melambai. Kau tahu, kita
seperti rel yang menggerakkan kereta itu beriringan berdampingan tapi tidak
bisa bertemu pada satu titik. Di situ senyumku abadi untukmu.
“Aku melihat kamulah
yang mempercantik gaun itu, aura keibuanmu terpancar sayang, dan saya tidak
menyangka engkaulah yang akan menjadi ibu dari anak-anakku”. Kalimat yang
keluar dari lisanmu waktu itu.
Kelak akan ada yang
tiba-tiba terjatuh ketika kita membuka-buka album, selembar potret, potret
mayat yang meregang. Entah mengapa kau tiba-tiba berkata seperti itu tempo
hari. dan ini seperti do’a yang langsung diijabah oleh-Nya.
Pada bagian mana dari
rasa cinta yang belum melukaimu? Seperti ada yang tiba-tiba berbisik di telingaku.
Asal kau tahu sayang dulu,
kini, selamanya rinduku tak mengenal kata rehat untukmu.
0 komentar:
Posting Komentar