Sabtu, 14 Maret 2015

"Mekanisme Pertahanan Ego Dalam Konflik Kejiwaan Tokoh Pada Novel Telegram Karya Putu Wijaya (Analisis Psikoanalisis Sigmund Freud)

Psikoanalisis Sigmund Freud

 Psikoanalisis adalah suatu kajian dalam cakupan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis, hal ini sejalan dengan pendapat Freud (1986:73-74) dalam mengembangkan teori psikoanalisisnya berangkat dari perbincangan antara pasien dan analis. Analis dalam memeriksa pasien tidak menggunakan alat-alat pemeriksaan dan tidak menggunakan resep, analis menetapkan waktu tertentu bagi pasiennya, mendengarkan pasien berbicara, lalu mengatakan sesuatu kepadanya dan membiarkan pasien mendengarkan. Pada wajah pasien dengan jelas terlihat tanda kelegaan dan ketenangan. Seakan-akan pasien berpikir: hanya itu saja. “words, words, words”. Demikian pula halnya sastra, semua mediasi yang terdapat dalam persoalan kesusastraan adalah bahasa yaitu bahasa tulis, hal ini senada dengan teori Freud (dalam Ratna, 2012:345-346) dalam menghadapi seorang pasien, untuk mengobati penyakitnya, seorang dokter tidak melakukannya dengan cara menguraikan asal-usul penyakitnya, melainkan dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga terungkap seluruh depresi mentalnya yaitu melalui pernyataan-pernyataan. Bahasa inilah yang dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sastra. Teori freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis pada bahasa dalam karya sastra, oleh karena itu, keberhasilan penelitian bergantung pada kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang melalui penerapan hukum-hukum psikologi yaitu penerapan psikoanalisis sigmund freud pada karya sastra.
       Salah satu penemuan besar Psikoanalisis adalah adanya kehidupan tak sadar manusia. Selama ini diyakini para ilmuwan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang sepenuhnya sadar akan segala perilakunya. Ketaksadaran ini adalah segi pengalaman yang tak pernah kita sadari. (karena terjadi pada tahap perkembangan dimana kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) atau kita repres (secara tidak sadar tidak ingin kita sadari karena kita anggap “menganggu” diri kita). Bagi freud ketaksadaran merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak pokok teorinya. Segi-segi penting manusia justru di tentukan oleh alam tak sadarnya. Ia membayangkan ketaksadaran manusia sebagai gunung es dimana hanya sebagian kecil saja yaitu puncak tearatasnya yang tampak terapung di laut. Sebagian besar badan gunung es tersebut terpendam di bawah permukaan laut. Bagian yang tersendam ini dapat di bagi menjadi dua, yaitu bagian pra sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke kesadaran dan bagian tak sadar yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tak di sengaja, fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongeng, dan sebagainya.( Freud dalam Moesono 2003:3).
       Freud menyusun teori perkembangan kepribadian dengan dua asumsi dasar yaitu sejalan dengan dasar pandangannya yang biologistis maka ia pun berpendapat bahwa pada saat lahir sorang bayi manusia telah memiliki sejumlah energi seksual (libido) tertentu yang kemudian akan terus dikembangkan melalui sejumlah tahapan psikoseksual secara naluriah karena telah ‘terprogram’ secara genetis. Pada tiap tahap perkembangan libido harus tersalurkan lewat daerah erogen tertentu. Pengalaman masing-masing manusia pada tiap tahap perkembangan dapat berupa frustasi (kurang mendapat kesempatan penyaluran libido secara wajar) atau pemuasan berlebih yang diberikan orangtua sehingga anak tidak terdorong untuk menguasai dirinya sendiri hal mana nantinya akan dapat menimbulkan kateksis berlebih (atau investasi libido berlebih) pada daerah erogen bersangkutan dan akan muncul dalam berbagai bentuk perilaku (sifat, nilai, sikap, dan sebagainya) pada masa dewasa. Asumsi mendasar kedua adalah bahwa semua pengalaman masa bayi dan anak-anak (sampai sekitar usia 5 tahun) memiliki peranan yang amat menentukan dalam pembentukan kepribadian manusia. Dalam salah satu tulisannya Freud bahkan mengatakan bahwa seluruh hidup manusia sekadar pengulangan dari pengalaman 5 tahun pertama kehidupannya. (Freud dalam Moesono, 2003:7).
       Kelebihan teori Psikoanalisis Sigmund Freud yaitu Psikoanalisis Sigmund Freud secara sistematis menjelaskan struktur jiwa manusia yaitu penjelasan mengenai id, ego, dan superego beserta teori kepribadian yang lain. hal ini memiliki relevansi dengan kesusastraan ketika karya sastra dianggap sebagai struktur yang bermakna dari hasil kreativitas dan ekspresi (struktur jiwa) manusia (sastrawan) karena baik sastra maupun psikoanalisis sama-sama dalam kajian keadaan jiwa manusia, baik melalui bahasa lisan maupun bahasa tulis sedangkan pada teori psikologi lain contohnya teori  yang dicetuskan oleh Carl Gustav Jung, Jung tidak intensif menerapkan teori-teorinya pada kesusastraan tetapi Jung terkenal dengan pengetahuannya tentang simbolisme dalam tradisi mistik, seperti Alkemi, Kabala, dan tradisi-tradisi serupa seperti dalam agama Hindu dan Budha (Zaviera, 2007:28).
       Pada pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud terdapat beberapa konsep di dalamnya yaitu teori kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud, Struktur kepribadian, dinamika kepribadian, mekanisme pertahanan ego, klasifikasi emosi, dan teori seksualitas. Peneliti dalam penelitian ini hanya akan menganalisis pada bagian mekanisme pertahanan ego akan tetapi pada teori terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai id, ego, dan superego. Teori struktur kepribadian dicantumkan oleh peneliti karena jika keinginan-keinginan yang saling bertentangan dari struktur kepribadian terjadi maka akan menghasilkan kecemasan. Misalnya ketika ego menahan keinginan mencapai kenikmatan dari id, kecemasan dari dalam terasa. Hal ini menyebar dan mengakibatkan kondisi tidak nyaman ketika ego merasakan bahwa id dapat menyebabkan gangguan terhadap individu. Kecemasan mewaspadai ego untuk mengatasi konflik tersebut melalui mekanisme pertahanan ego. Struktur kepribadian meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id,ego, dan superego.
a.    Struktur Kepribadian menurut sigmund freud
Secara struktural manusia memiliki sistem id, ego, dan superego, id terletak di bagian tak sadar. Ego terletak di alam sadar, prasadar, dan tak sadar yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan id dan larangan superego. Superego terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian tak sadar yang bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi orangtua (Minderop, 2010:20).
Ketiga struktur kepribadian tersebut yaitu:
1)    Id
    Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan. Menurut Freud, id berada di alam tak sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010:21). Sejalan dengan pendapat Zaviera (2007:93) juga mengemukakan id bekerja dengan prinsip-psinsip kenikmatan sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan. Pendapat lain mengatakan bahwa id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting. Id merupakan tempat penyimpanan dari energi psikis. Freud juga menyebutnya sebagai “kenyataan psikis yang sebenarnya” karena id mempresentasikan dunia batin dari pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif (Semiun, 2006:61).
   Ciri-ciri dari id adalah tidak memiliki moralitas karena tidak dapat membedakan antara baik dan jahat maka id adalah amoral, primitif. Seluruh energinya hanya digunakan untuk satu tujuan mencari kenikmatan tanpa menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak. Sebagai daerah yang menyimpan insting-insting (motivator-motivator primer), id beroperasi menurut proses primer (Semiun, 2006:63).
    Menurut Freud (dalam Moesono 2003:31) id adalah bentuk netral yang mengacu pada pengertian tentang adanya yang impersonal dan yang tidak dikuasai dalam struktur psikis manusia. Id merupakan sumber energi, persediaan pulsi pertama, suatu kekacauan yang bergerak dan tidak stabil yang tidak dapat diberi definisi ilmiah terlalu ketat. Inilah bentuk psikis yang asli dan kekanak-kanakan, tempat pulsi bawaan dari lahir dan hasrat yang direpresi.
2)    EgO
   Freud (dalam Minderop, 2010:21) berpendapat bahwa ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Misalnya seseorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri akan tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi.
   Menurut Freud ( dalam Moesono, 2003:31) ego adalah instansi yang mempertahankan dan melindungi pribadi. Ego ini kaya dengan energi intern (pulsi-pulsi id), tetapi juga memperhatikan realitas luar. Ego harus menekan, menyesuaikan, dan sedikit banyak melaksanakan hubungan antara id dengan dunia luar. Aktivitas ego terdapat pada ketiga lapisan “yang sadar”, yang pra sadar, dan “yang tak sadar”. Pada lapisan “yang sadar”, Ego mengawasi kesesuaian  antara subjek dan lingkungan. Pada lapisan “yang tak sadar” dalam pertahanan diri dan proteksi sehingga  hubungannya dengan id berlangsung secara terus-menerus dan dalam keadaan konflik. Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip realitas, seperti tampak dalam pembentukan objektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial yang rasional, tugas ego adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk dalam kesadaran dan apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ego menjamin kesatuan kepribadian.
   Menurut Frued (dalam Semiun, 2006: 64-65) Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan (reallity principle) dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara waktu, prinsip kenyataan menunda prinsip kenikmatan, meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian tegangan direduksikan. Prinsip kenyataan menanyakan apakah pengalaman benar atau salah yakni apakah pengalaman itu ada dalam kenyataan dunia luar atau tidak sedangkan prinsip kenikmatan hanya tertarik pada apakah pengalaman itu menyakitkan atau menyenangkan. Freud juga berpendapat bahwa ego terdiferensiasi dari id ketika bayi belajar membedakan dirinya dari dunia luar. Meskipun id tetap tidak berubah, namun ego terus menerus berubah. Meskipun id tetap mengikuti tuntunan tuntunan tidak realistik dan tidak mengalah dalam mencari kenikmatan, namun ego harus realistik. Id menyiapkan energi bagi seseorang, sedangkan ego harus melakukan kontrol.
3)   Super Ego
     Komponen struktural ketiga kepribadian adalah superego dan dalam pandangan Freud superego adalah bagian moral atau etis dari kepribadian. Superego mulai berkembang pada waktu ego menginternalisasikan norma-norma sosial dan moral. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisioanal masyarakat. Superego dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistik dan idealistik yang bertentangan dengan prinsip kenikmatan dari id dan prinsip kenyataan dari ego. Superego mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah memutuskan sesuatu itu benar atau salah, dengan demikian superego dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat (Semiun,2006:66) sedangkan menurut Freud (dalam Minderop,2010:22) berpendapat bahwa Superego adalah struktur kepribadian yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya denganhati nurani yang mengenali nilai baik buruk (conscience). sedangkan menurut Freud (dalam Susanto, 2012:62) superego dapat diartikan sebagai representasi dari berbagai nilai dan hukum-hukum suatu masyarakat dimana individu tersebut berada pada saat itu. Superego di peroleh seseorang ketika waktu masa kecil melalui proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan larangan ataupun hukuman. Superego ini menjadi satu landasan seseorang dalam melakukan pengendalian diri. Menurut Freud (1991:30) superego merupakan dasar hati nurani. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dalam bentuk emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya sedangkan menurut Freud dalam Moesono (2003:31) superego dibentuk  melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar (misalnya orang tua). Hal ini di olah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya dianggap “asing” bagi subjek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. 
   Freud berpendapat bahwa kecemasan merupakan akibat dari konflik antara id dan ego. Konflik antara id dan ego tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan antara dua keinginan. misalnya, perasaan tidak senang seorang anak kepada orang tuanya yang bertentangan dengan keharusan anak mencintai orang tuanya. Mengakui perasaan akan mengakibatkan kecemasan bagi anak karena akan menghancurkan konsep diri sebagai anak baik dan mengancam posisinya karena akan kehilangan kasih sayang dan dukungan orang tuanya, kecemasan akan timbul sebagai tanda bahaya. Oleh karena itu, dia harus melakukan manuver melalui mekanisme pertahanan ego (Minderop, 2010:28). Pada tahun 1926 freud mencetuskan mekanisme pertahanan ego (Freud dalam Semiun, 2006:96).
b.   Mekanisme Pertahanan Ego
       Mekanisme Pertahanan ego merupakan reaksi-reaksi yang tidak disadari yang dilakukan oleh ego yang terdapat dalam diri individu dalam upaya melindungidari emosi atau perasaan yang menyakitkan, seperti cemas dan perasaan bersalah. Ego berusaha menjaga kestabilan hubungan dengan id, dan superego. Namun ketika kecemasan begitu menguasai, ego harus berusaha mempertahankan diri. Secara tidak sadar, ego akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima. Aktivitas ego bersifat sadar, prasadar, maupun tak sadar. aktivitas sadar ego yaitu proses-proses intelektual contoh: seorang pimpinan perusahaan yang mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan, aktivitas pradasar contoh: fungsi ingatan, dan aktivitas tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Ego sepenuhnya dikuasai oleh prinsip realitas.(Freud, 1991: 30).




Beberapa mekanisme pertahanan ego yaitu:
1)   Represi
      Represi adalah proses penekanan dorongan ke alam tak sadar karena mengancam keamanan ego dapat diartikan juga sebagai “penguburan” pikiran dan perasaan yang mencemaskan ke alam tak sadar. Tugas Represi adalah mendorong keluar impuls-impuls id yang tak diterima, dari alam sadar kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego yaitu menekan (repress) atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar keluar dari alam sadar. Represi sebagai upaya menghindari perasaan anxitas dan sebagai akibat represi, individu tidak menyadari impuls yang menyebabkan anxitas serta tidak mengingat pengalaman emosional dan traumatik di masa lalu Freud (dalam Minderop, 2010:33). Analisis Freudian menjelaskan fobia ini dengan sangat sederhana. Seorang merepresi peristiwa traumatik tapi pengalaman melihat suatu objek yang menakutkan bisa menimbulkan perasaan takut dan cemas berkepanjangan tanpa mampu mengingat peristiwanya dengan jelas (Zaviera, 2007:99). Cara kerja represi yaitu apabila impuls-impuls dari id begitu mengancam maka kecemasan akan menjadi semakin hebat sampai kepada titik dimana ego tida dapat lagi menahannya. Untuk melindungi dirinya sendiri ego merepresikan insting itu, yakni memaksa perasaan yang tidak dikehendaki itu untuk masuk ke dalam ketaksadaran (Freud dalam Semiun, 2006:97).
2)   Sublimasi
     Sublimasi adalah pembelokan libido seksual kepada kegiatan yang secara sosial lebih dapat diterima. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan Freud (dalam Minderop, 2010:34) contoh: dorongan agresif senang berkelahi dapat dibelokkan menjadi seorang petinju dan seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara sosial dengan menjadi seorang pelukis tubuh model tanpa busana. Pendapat lain mengatakan sublimasi adalah proses mengubah berbagai rangsangan yang tidak diterima, apakah itu dalam bentuk kemarahan, ketakutan, atau bentuk lainnya ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial (Zaviera, 2007:108) sedangkan menurut Freud ( dalam Milner, 1992:143) menyatakan bahwa sublimasi adalah pemindahan pulsi seksual ke tujuan baru yang non seksual dimana pulsi tersebut mengincar objek-objek yang mempunyai nilai sosial.
3)   Proyeksi
      Proyeksi terjadi apabila individu melimpahkan kesalahannya kepada orang lain, individu kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diingankan dan tidak dapat diterima dengan melimpahkannya dengan alasan lain, misalnya  seseorang harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, dan orang tersebut menyadari bahwa sikap ini tidak pantas dilakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini dilakukan agar tampak lebih baik (Hilgard dalam Minderop, 2010:34) pendapat lain mengatakan bahwa proyeksi yaitu apabila dorongan insting internal menimbulkan terlalu banyak kecemasan, ego mungkin mereduksikan kecemasan dengan menghubungkan dorongan yang tidak bisa dikendalikan itu dengan objek luar, biasanya orang lain. Proyeksi juga didefinisikan sebagai melihat pada orang lain perasaan atau tendensi yang tidak dapat diterima dan yang sesungguhnya berada dalam ketaksadaran orang itu sendiri (Semiun, 2006:100).
4)   Pengalihan
      Pengalihan adalah perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Contoh: adanya impuls-impuls agresif yang dapat digantikan sebagai kambing hitam terhadap orang atau objek lainnya dimana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun lebih aman dijadikan sasaran (Minderop, 2010:34).
5)   Rasionalisasi
        Rasionalisasi merupakan penciptaan kepalsuan (alasan-alasan) namun dapat masuk akal sebagai upaya pembenaran tingkah laku yang tidak dapat diterima. Contoh-contoh rasionalisasi: Pertama, rasa suka atau tidak suka sebagai alasan, contoh: seorang gadis yang tidak diundang ke sebuah pesta, berkata bahwa ia tidak akan pergi walaupun diundang karena terdapat beberapa orang yang tidak disukainya hadir di pesta tersebut. Kedua, menyalahkan orang lain atau lingkungan sebagai alasan, contoh: seseorang yang terlambat karena tertidur akan menyalahkan orang lain yang tidak membangunkannya atau mengatakan kelelahan karena terlalu sibuk sehingga terlelap seharusnya ia dapat bangun dengan memasang jam waker sebelumnya. Ketiga, Kepentingan sebagai alasan contoh: seseorang membeli mobil model terbaru dengan alasan mobil yang lama membutuhkan lebih banyak reparasi (Hilgard dalam Minderop, 2010:35). Contoh pada novel yaitu alasan tokoh utama yaitu tokoh aku mengangkat shinta menjadi anak, seperti pada kutipan “Aku telah menjadikannya maskot!”. “apalagi?” Tawanan yang dapat menghiburku!” apa lagi?”“ tabungan hutang budi!” (Wijaya, 1977:107).
6)     Reaksi formasi
    Reaksi formasi merupakan represi akibat impuls anxitas yang diikuti oleh kecenderungan yang bertolakbelakang dengan tendensi yang ditekan, contoh:  seorang ibu membenci anaknya, tetapi karena kebencian terhadap anak merupakan suatu sikap yang membuat ia mengalami kecemasan, maka ia kemudian menunjukkan sikap sebaliknya, yakni menyayangi anaknya secara berlebihan (Minderop, 2010:36-37).
7)   Regresi
  Terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, regresi yang disebut retrogessive behavior yaitu perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis, dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain hal ini senada dengan pernyataan (Zaviera, 2007:107) Regresi adalah kembali ke masa-masa di mana seseorang mengalami tekanan psikologis. Ketika menghadapi kesulitan atau ketakutan, perilaku sering menjadi kekanak-kanakan atau primitif. Kedua, regresi yang disebut primitivation yaitu ketika orang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi (Minderop, 2010:37).
8)   Agresi
    Agresi adalah perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal dibandingkan fisikal korban yang tersinggung biasanya akan merespon. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tak tersentuh pelaku tidak mengetahui kemana ia harus menyerang, sedangkan pelaku sangat marah dan membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan (Minderop, 2010:38). Contoh pada novel terdapat pada kutipan “Dengar! Ini bukan soal duit! Kamu boleh beli semua isi toko sarinah, tapi kamu tidak bisa mengambil apa-apa dari tanganku. Kamu tidak bisa membayar apa yang sudah kukeluarkan dari dagingku selama sepuluh tahun ini. Kamu pikir kamu bisa! (Wijaya, 1977:105).
9)   Apatis
    Apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi (terhambatnya keinginan), yaitu sikap apatis dengan cara menarik diridan bersikap seakan-akan pasrah(Hilgard dalam Minderop, 2010:38).Contoh pada novel yaitu tokoh utama yaitu tokoh aku bersikap pasrah karena kehidupannya yang sering diliputi berbagai macam masalah.
10)    Fantasi
     Fantasi adalah kemampuan jiwa untuk membentuk bayangan-bayangan baru Freud (dalam Walgito, 1985:142) sedangkan menurut (Freud dalam Minderop, 2010:38) Ketika seseorang menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadangkala mencari solusi dengan masuk ke dunia khayal, solusi berdasarkan fantasi dibandingkan realitas.
   Freud (1958:95) berpendapat bahwa Lamunan adalah produk dari fantasi. Lamunan terjadi apabila seseorang sedang membayangkan sesuatu. Lamunan adalah hasil fantasi, seseorang tidak melihat tapi hanya membayangkan. Lamunan mampu membentuk materi dasar karya-karya puitis. Penulis bisa mengubah lamunannya menjadi cerita, novel dan drama. Contoh pada novel terdapat pada kutipan “Aku tidak percaya bahkan merasa lebih pesimis lagi.Terbayang hal-hal yang menjijikkan. Celakanya itu hari minggu. Aku tak bisa mengetok sembarangan pintu untuk berobat. Setiap dokter juga punya hak untuk istirahat (Wijaya,1977:78).
11)    Stereotype
         Stereotype adalah konsekuensi lain dari frustasi, yaitu perilaku stereotype memperlihatkan perilaku pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh, contoh: seseorang yang berfantasi (Hilgard dalam Minderop, 2010:38-39). Contoh pada novel yaitu tokoh utama yaitu tokoh aku dimana egonya secara tidak disadari melakukan khayalan atau fantasi secara terus-menerus.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Maidar G. 1999. Pengajaran Sastra. Jakarta. Depdikbud.

Freud, Sigmund. 1958. A General introduction to psychoanalysis Psikoanalisis Sigmund Freud. Diterjemahkan oleh Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon           Teralitera.

Freud, Sigmund. 1986. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Freud, Sigmund. 1991. Memperkenalkan Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Juanda. 2004. Teori Sastra. Makassar. FBS UNM.

Kurniasih, Eka Risna. 2011. Kritik Sosial Dalam Novel Senja di Jakarta Karya Muchtar Lubis. Skripsi. Makassar: FBS UNM

Milner, 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta:Intermasa.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra, Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus.  Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Moesono, Anggadewi. 2003. Psikoanalisis Dan Sastra.Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Mulyaningsih, Eka. 2011. Skripsi. Telaah Psikoanalisis Pada Novel “Olenka”  karya   Budi Darma Suatu Tinjauan Psikoanalisis Sigmund Freud.FBS UNM   Makassar.

Nensilianti, 2006. Sastra Nusantara. Makassar

Nursisto, 2000. Ikhtisar kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicira Karya Nusa.

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sabirah. 2012. Skripsi. Konflik Psikis Tokoh Pada Novel “Kupinjam Nafas Iblis” Karya Mira W. FBS UNM Makassar.

Semiun, Yustinus. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued.Yogyakarta: Penerbit Kansinus.

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Tang, Muhammad Rapi. 2008. “Mozaik Dasar Teori Sastra Dalam PenampangObjektif. Makassar. Badan Penerbit UNM.

Wellek , Rene dan Warren, Austin. 1988. Teori Kesusatraan. Di terjemahkan oleh :Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia.

Wijaya, Putu. 1977. Telegram. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya.

Walgito, Bimo.1985. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Yudiono, leni. 1989. Kesusastraan: sebuah pengantar Teori dan Sejarah.  Bandung. Angkasa.

Zaviera, Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: Prismasophie.


Sumber Gambar : www.slideshare.net












2 komentar:

  1. Maaf boleh minta referensinya? saya mau cari buku2nya.. makasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah ada referensinya pak, coba buka lagi tulisan saya

      Hapus