Minggu, 11 September 2016

Surat Seorang Pengantin







Dear kekasihku,

Waktu terus menguap di pukuli detak-detak jam dan jarumnya yang tajam juga tak henti mengukir wajahku dengan pahatannya yang dalam, menghapus impian kita tentang sebuah halaman kecil dengan anak-anak kecil yang bermain di dalamnya.

Aku bangun sebuah rumah di batinku untukmu. Di situ, aku membayangkan kau tersenyum menyiram bunga di halaman setiap harinya.

Dulu, cintamulah yang membuat ketidakwarasanku, sepasang ginjal yang seharusnya ada di tubuhmu dengan rela kau berikan salah satunya pada ibuku yang bahkan bagi sebagian mereka adalah hal yang mustahil sebab kita belum sah secara agama beberapa tahun silam.

Ketidakwarasanku yang menunggumu, menunggumu tiba dengan kereta yang dulu membawamu pergi dengan cinta.

Cinta pada negeri katamu Saat itu aku tak bisa melepaskanmu. Dan kau tahu sayang beberapa menit sebelum kepergianmu aku ingin menyampaikan bahwa telah ada malaikat kecil di rahimku.

Dan keretapun berderek menjauh. Aku  melambai. Kau tahu, kita seperti rel yang menggerakkan kereta itu beriringan berdampingan tapi tidak bisa bertemu pada satu titik. Di situ senyumku abadi untukmu.

“Aku melihat kamulah yang mempercantik gaun itu, aura keibuanmu terpancar sayang, dan saya tidak menyangka engkaulah yang akan menjadi ibu dari anak-anakku”. Kalimat yang keluar dari lisanmu waktu itu.

Kelak akan ada yang tiba-tiba terjatuh ketika kita membuka-buka album, selembar potret, potret mayat yang meregang. Entah mengapa kau tiba-tiba berkata seperti itu tempo hari. dan ini seperti do’a yang langsung diijabah oleh-Nya.

Pada bagian mana dari rasa cinta yang belum melukaimu? Seperti ada  yang tiba-tiba  berbisik di telingaku.


Asal kau tahu sayang dulu, kini, selamanya rinduku tak mengenal kata rehat untukmu.

0 komentar:

Posting Komentar